Rabu, 10 Agustus 2016

Christenhypsometer - Biometrika Hutan

CHRISTEN HYPSOMETER

A.    Pengertian Alat Ukur Christen Hypsometer

Christen Hypsometer adalah suatu alat untuk mengukur tinggi pohon dengan memperhatikan jarak pandang pengukuran, alat ini harus dibantu galah sepanjang 4 meter unutk membantu mengukur tinggi pohon.
Alat ini di Indonesia disebut dengan Christen meter saja. Ciri utama alat ini jika digunakan untuk mengukur tinggi harus menggunakan galah setinggi kurang lebih 4 meter yang didirikan pada pangkal pohon hingga bisa dilihat oleh si pengukur, sehingga alat ini cocok untuk mengukur tinggi pohon > 4 m. Kemudahannya jarak antara pohon dengan si pengukur bebas dan tidak perlu diukur asal dapat melihat pangkal pohon. Kelemahannya adalah mata harus melihat 3 titik, yaitu ujung pohon, pangkal, dan ujung galah.

B.     Alat Ukur Christen Hypsometer
Alat untuk mengukur ketinggian pohon disebut hypsometer . Ada banyak jenis hypsometers, beberapa akan disebutkan. Hutan hypsometer merupakan layanan yang terbaik di pasar. Ia bekerja pada prinsip yang sama seperti Abneylevel, tapi gravitasi bob, bukannya bola tingkat, digunakan untuk tinggi pohon. Sedikit plumb bob dan busur lulus dalam sebuah kasus. Di satu sisi kasus merupakan bagian mata atau mengintip kesalahan dan di sisi lain sebuah jendela kecil di mana puncak pohon dapat bersentuhan. Penampakan di atas pohon pada jarak 100 meter dari, operator membaca ketinggian pohon pada skala bergerak.
Hypsometer adalah salah satu alat ukur yang sangat sederhana, terdiri dari aturan lulus seperti tongkat Biltmore, dijelaskan sebelumnya. Cruiser, menggunakan hypsometer Merrit, mengukur pohon di jarak tertentu (biasanya 66 kaki) memegang aturan verticallyat lengan panjang. Dia memegang dasar aturan on line nya dari pandangan tertalu pangkal pohon, penampakan hanya di bawah bagian bawah  tegak pangkal pohon. Tanpa bergerak aturan atau mengubah hisposition, dia pemandangan di puncak pohon. Penandaan pada yang terletak di garis keturunannya pandang ke atas pohon pada ketinggian pohon.
Christen hypsometer adalah alat ukur pohon  sederhana yang memiliki aturan atau skala panjang sekitar 10 inci yang dapat dibawa dalam saku. Kapal penjelajah, menghadap pohon untuk mengizinkan dia untuk melihat atas dan basis, memegang alat ukur ini di hadapannya. Seorang asisten memegang tiang 10-kaki tegak di thebase pohon. Mobil patroli bergerak skala lebih dekat atau jauh dari theeye sampai seluruh panjang skala hanya mencakup seluruh tampilan (inheight) pohon. Penandaan pada skala yang di sejalan dengan bagian atas tiang tegak menunjukkan ketinggian pohon.
Hypsometer adalah sebuah alat untuk mengukur ketinggia. Banyak prinsip-prinsip fisik yang berbeda dapat digunakan.
Sebuah hypsometer skala sederhana ini memungkinkan ketinggian bangunan atau pohon yang akan diukur dengan penampakan di penggaris ke dasar dan atas objek yang diukur, ketika jarak dari objek untuk pengamat dikenal. Hypsometers modern menggunakan kombinasi dari pengintai laser dan klinometer untuk mengukur jarak ke atas dan bawah objek, dan sudut antara garis-garis dari pengamat ke masing-masing untuk menghitung tinggi.

Sebuah contoh dari hypsometer skala diilustrasikan di sini, dan dapat dilihat terdiri dari tabung penampakan, skala horizontal tetap, dan skala vertikal disesuaikan dengan terpasang garis tegak lurus. Prinsip operasi dari suatu hypsometer skala didasarkan pada gagasan segitiga sama dalam geometri. Pertama skala vertikal disesuaikan diatur pada ketinggian yang sesuai. Kemudian seperti pada langkah 1 dalam ilustrasi, pengamatan diambil di bagian atas obyek yang tingginya akan ditentukan, dan pembacaan pada skala horisontal, h ', direkam. Perhitungan dari nilai ini pada akhirnya akan memberikan tinggi h, dari mata-garis pengamat ke atas obyek yang tingginya akan ditentukan. Demikian seperti pada langkah 2 ilustrasi, pengamatan diambil pada dasar obyek yang tingginya akan ditentukan, dan pembacaan pada skala horisontal, d ', direkam. Perhitungan dari nilai ini pada akhirnya akan memberikan jarak dari dasar objek untuk mata-garis pengamat. Akhirnya jarak x dari pengamat ke objek yang akan diukur.
Melihat geometri yang terlibat dalam langkah 1 menghasilkan sketsa: dua segitiga siku kanan, ditampilkan di sini dengan sudut kecil identik dengan warna kuning. Selanjutnya dalam sketsa b kita melihat bahwa dua segitiga memiliki sudut yang sama - masing-masing memiliki sudut yang tepat, sudut kecil yang sama ditunjukkan dengan warna kuning, dan sudut yang lebih besar yang sama ditunjukkan dalam jeruk. Oleh karena itu dalam sketsa c kita melihat bahwa menggunakan prinsip segitiga yang sama, mengingat bahwa setiap segitiga memiliki sudut yang sama, para pihak akan dalam proporsi: x jarak ke objek dalam proporsi x ', ketinggian yang ditetapkan pada skala vertikal dari hypsometer, dan h ketinggian benda di atas pengamat mata-line dalam proporsi h ', pembacaan dari skala horizontal hypsometer tersebut.
Mengingat bahwa Tan (sudut kecil kuning) = Opposite Side / Berdekatan Side, karena Tan (sudut kecil kuning) = h / x = h '/ x'. Oleh karena h = h'x / x '.
Demikian juga geometri terlibat dalam langkah 2 menghasilkan sketsa d: dua segitiga siku kanan. Selanjutnya dalam sketsa e kita melihat bahwa dua segitiga lagi memiliki sudut identik - masing-masing memiliki sudut yang tepat, sudut kecil yang sama ditunjukkan dengan warna kuning, dan sudut yang lebih besar yang sama ditunjukkan dalam jeruk. Oleh karena itu dalam sketsa f kita melihat bahwa menggunakan prinsip segitiga yang sama, mengingat bahwa setiap segitiga memiliki sudut yang sama, para pihak akan dalam proporsi: x jarak ke objek dalam proporsi x ', ketinggian yang ditetapkan pada skala vertikal dari hypsometer, dan d kedalaman obyek bawah pengamat mata-line secara proporsional dengan d ', pembacaan dari skala horizontal hypsometer tersebut.
C.    Cara Menggunakan Christen Hypsometer

Langkah-Langkah dalam Menggunakan Alat Ukur Christen Hypsometer :
a.  Sandarkan jalon atau galah sepanjang 4 m sejajar pohon dan atau tegak lurus tanah.
b. Pegang Christen Hypsometer seperti pada gambar dan bidik ujung-ujung pohon melalui sisi siku-siku bagian dalam
c.   Bidikkan siku bawah pada pangkal pohon dan siku atas pada ujung pohon
d. Baca skala pada tinggi galah. Skala yang terbaca menunjukkan tinggi pohon. 

D.    Prinsip Kerja Christen Hypsometer
Prinsip kerja Christen Hypsometer adalah prinsip segitiga sebangun.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjt3ooj8G38kt4T41MYjoFf9RUZQZBnFg-HdrIjr8Gluxu5mrVweCzkFwqoKwraYezcn8mNz1Dhic_F9DmFr1ktVqgr_rbmsqVS3GXBlueXlj569eWuTMNxNQrYfAcfymzbQMb-40SI0LY/s200/christen.jpg


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggVZevldPB5X-Y-abS5i7bdhPRHtMd-KvzTrGcUwBp5QsFO6JVl954dwhAdsAQ81zGnKfb-iElMFYU38g7KeJo3-3_0AwG1CsZ4e4ucxOe-XWoRbrI-vFby1Auf0h6w8WuYEGHDwo5DWI/s1600/segitiga.jpg


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiROiYQi54uI2HUjxKoenN6VCGQUdjWH-TzpO4ycI4NDjCNz29u2WutPsdTNvii4hVKVTYslHOrn95mOnlgmuHTo0D70JLIexRyv01u85ZZ0svK1sON9b8qXYdrT5f56XZETTu-xo891Zc/s320/segitiga+christen.png

E.     Gambar Untuk Alat Ukur Christen Hypsometer
                   





























GAMBARAN UMUM TENTANG CHRISTEN HYPSOMETER
(Paper Responsi Mata Kuliah Biometrika Hutan )





Oleh

Agustin Arisandi Mustika       1114151001
Desy Rahmawati Romlah       1114151015
Dian Afriansyah                      1114151016
Dian Aprianto                         1114151017
Faisal Mahdi Syamal               1114151030
Husen Hariadi                         1114151032
M. Reza Arizma Putra                        1114151042
Nova Natalia                           1114151046
Rizki Kurnia Ramadhan         1114151058




FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013


Silvikultur

PERAN SILVIKULTUR DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN LIAR
 (Makalah Mata Kuliah Silvikultur)



Oleh
Dian Aprianto
(1114151017)


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berkembangnya susunan masyarakatdan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan sumberdaya meningkat intensitas dan diveresitasnya. Praktek pengelolaan lahan harus terus menerus berubah. Sebagai contoh, biasa ditemukan bahwa praktek-praktek yang normal dan dapat diterima pada suatu dasawarsa, namun pada dasawarsa berikutnya tidak diterima lagi, dan pada beberapa kasus menjadi tidak legal.
Permasalahan timbul ketika praktek-praktek yang dijalankan mendahului waktunya atau ketinggalan zaman. Pada kasus yang demikian, praktek-praktek tersebut tidak realistis menurut pandangan masyarakat. Tujuan dari silvikultur disini adalah memanfaatkan praktek-praktek pengelolaan yang sehat dan dapat diterima masyarakat dan mengantisipasi kebutuhan pada waktu mendatang.
Di banyak bagian dunia, masyarakat telah berkembang dengan cepat pada suatu keadaan yang menimbulkan persaingan penggunaan lahan, dan tempat kekhawatiran tentang keterbatasan sumberdaya alam dan kemampuan untuk melestarikan penyediaannya. Disamping itu, bertambah besar perhatian seluruh dunia akan konservasi dan perlindungan terhadap kemunduran dan polusi lingkungan. Situasi ini hendaknya merupakan landasan bagi silvikultur yang baik. Dan sesungguhnya, semua badan kehutanan dan industri sedang memperbaiki kualitas praktek pengelolaan karena kebutuhan untuk menjadi lebih efesien dan


produktif karena keinginan sungguh-sungguh untuk memperoleh lingkungan hutan yang lebih baik dikemudian hari.
Sesungguhnya dibuuthkan generasi silvikulturis baru, yang mempunyai sikap dan kemampuan yang lebih sesuai untuk menangani tugas-tugas pengelolaan hutan yang baru dan kompleks dewasa ini. Untuk menggali tantangan baru ini, kita  pertama kali harus mengidentifikasi sifat lahan sekarang sedang dikelola, perubahan tujuan pengelolaan lahan, dan kemudian perubahan fungsi silvikulturis dalam program pengelolaan yang lebih intensif.

B. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Agar mahasiswa mampu menganalisis peran silvikultur dalam pengelolaan hutan dan tanah liar.
2.      Agar mhasiswa mengetahui kendala apa saja yang terjadi dalam pengelolaan hutan.
3.      Agar mahasiswa dapat mengetahui lebih jelas dari peran silvikulturis.


II. ISI

Peran Silvikultur
Silvikultur berkenaan dengan kontrol pembentuka, pertumbuhan, komposisi, dan kulaitas vegetasi hutan. Hal ini hanya dilakukan pada setiap hutan yang berlokasi tertentu, bila tersedia tujuan dan pengelolaan lahan yang jelas dan tegas, yang melakukan apa yang akan dicapai. Kemudian setiap tujuan pengelolaan harus ditafsirkan dalam arti macam struktur tegakan hutan yang paling cocok. Tujuan yang bervariasi diantara produksi kayu, air margasatwa, dan rekreasi menghendaki struktur hutan yang sangat berbeda. Terdapatnya, tidak adanya atau banyaknya seresah, rumput, belukar, permudaan, sapihan, tiang pohon masa tebang, dan pohon lewat masak tebangsebaiknya bervariasi dalam tegakan yang dikelola yang bergantung pada tujuan pengelolaan tertentu. Selanjutnya, setiap tujuan memepengaruhi campuran jenis dan kelas umur yang ada dan luas komponen vegetasi yang dibuat berlapis atau digabungkan secara vertikal dan horizontal dalam kelompok-kelompok yang relatif seragam atau mozaik di dalam tegakan
Tujuan yang kompleks yang melibatkan penggunaan ganda umumnya menghendaki struktur yang juga kompleks dan beragam dengan kemungkinan kehilanagn sebagian efesiensi untuk suatu penggunaan tertentu. Karena itu, perumusan strategi silvikultur tergantung pada pemahaman tujuan pengelolaan tegakan secara keseluruhan. Dengan berubahnya tujuan, kaidah-kaidah silvikultur berubah pula, karena mungkin dikehendaki struktur tegakan yang berbeda.


Kontrol silvikultur terhadap struktur tegakan menghendaki kaidah-kaidah yang memadukan pengetahuan biologi, pengelolaan dan ekonomi. Kaidah-kaidah ini harus sesuai dengan kerangka yang dapat diterima masyarakat.
Pengembangan kaidah-kaidah silvikultur menyangkut pengertian yang baik dan lengkap tentang prinsip-prinsip dasar dan penjabarannya ke dalam praktek-praktek yang direkomendasikan. Kedua komponen ini berbeda namun saling tergantung. Prinsip-prinsip dasar bersifat universal dan memberikan pondasi untuk praktek-praktek yang cenderung bersifat regional dan bervariasi sesuai dengan tipe penutup hutan. Prinsip-prinsip silvikultur menyebar di sekitar pengertian yang sempurna tentang interaksi tumbuhan dan lingkungannya. Manipulasi pembentukkan, pertumbuhan, komposisi, dan kualitas hutan untuk memenuhi tujuan tertentu untuk menghendaki silvikulturis menghargai saling hubungan antara pertumbuhan vegetasi hutan dan komponen fisik dan biologi lingkungan kerjanya. Karena itu, pengetahuan potensi pertumbuhan individu pohon, belukar, dan jenis rumput menjadi dasar untuk mengontrol pertumbuhan tegakan.
Kontrol struktur tegakan berarti kontrol pertumbuhan tumbuhan yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Karena pertumbuhan setiap tumbuhan dikendalikan oleh setiap tumbuhan dikendalikan oleh interaksi genotip lingkungan, silvikulturis harus menyadari semua perlakuan, termasuk pemungutan hasil, penjarangan, persiapan lokasi, dan pemupukan, berpengaruh langsung terhadap interaksi ini. Karena itu keberhasilan untuk memenuhi tujuan pengelolaan, tergantung pada kemampuan silvikulturis meramalkan pengaruh berbagai alternatif perlakuan dalam membentuk lingkungan yang cocok bagi tanaman yang dikehendaki tumbuh dengan sendirinya.
Kontrol struktur tegakan diperoleh dengan pengontrolan perbedaan pertumbuhan jenis dan individu tanaman melalui manipulasi silvikultur lungkang gen dan lingkungan dimana individu tanaman itu tumbuh dan berkembang.

Peran Atau Tugas Silvikultur
Peran atau tugas silvikultur pada intinya yaitu:
1.      Seorang silvikulturis mampu mengetahui hutan sepenuhnya.
2.      Mampu memberi perlakuan terhadap suatu hutan.
3.      Mampu merinci biaya perlakuan.
4.      Merekomendasikan hutan yang telah diberi perlakuan.

Hal Yang Harus Diketahui Oleh Seorang Silvikulturis
Seorang silvikulturis harus mengetahui hal-hal seperti berikut:
1.      Ekologi
Seperti kualitas tempat tumbuh (potensi produktivitas dan faktor tanah), vegetasi yang ada (sifat genotif dan ciri fisiologis), lingkungan mikro (cahaya, suhu, evaporasi, kelembaban), mikroflora (bakteri, jamr, alga/penyakit), dan mikrofauna (nematoda, gastropoda, serangga/hama).
2.      Manajemen
Seperti masalah teknis (persyaratan operasional, pembatasan peralatan, persyaratan rencana pengelolaan, pertimbangan ekonomi), dan masalah kebijakan (kebijaksanaan dinas kehutanan terhadap pengelolaan tegakan).
3.      Sosial
Seperti perundangan (peratutan pengelolaan lahan negara, praktek kehutanan di daerah), tekanan sosial (aktivitas kelompok konservasi, masyarakat sekitar hutan), dan tenaga kerja.



Praktek Silvikultur
Praktek dari seorang silvikulturis yaitu:
1)      Penyediaan benih.
2)      Praktek kebun bibit, yang harus dilakukannya yaitu
a. pemilihan lahan kebun bibit
b. layout kebun bibit
c. penyiapan lahan
d. penggunaan kontiner
e. seleksi kualitas bibit
3)      Pertanaman benih
a. evaluasi tempat tumbuh
b. iklim
c. kualitas tempat tumbuh
d. desain penanaman
e. penyiapan lahan
f. sumber air
g. energi
4)      Pemeliharaan
a. pengairan atau penyiraman
b. pemupukan
c. pengendalian gulma
d. penjarangan
e. pemangkasan
5)      Pemanenan



Hutan Dan Lahan Liar (Wildlands)
Macam lahan yang termasuk dalam pengelolaan dan tanggung jawab para silvikulturis sangat luas. Lahan tersebut termasuk aneka tipe hutan, belukar, lahan pengembalaan, arel perairan darat, dan daerah hutan belantara.dengan demikian hasil pengelolaan juga beraneka ragam. Karena keanekaragaman ini, istilah tunggal lahan liar (wildlands) seiring digunakan untuk melukiskan berbagai tipe vegetasi yang termasuk dalam praktek kehutanan. Istilah ini telah diterima secara luas meskipun ada kesulitan karena dalam istilah ini termasuk areal seperti hutan yang dikelola, hutan tanaman, dan hutan kota.
Hutan dan lahan liar merupakan sumberdaya yang besar, secara umum hutan saja menutup sepertiga permukaan Amerika Serikat dan dunia. Kepentingan pengelolaan sumberdaya secara bijaksana terbukti, bila diakui bahwa bahakan dalam masyarakat industri sekarang ini hutan masih tetap diperlukan untuk eksistensi dan kesejahteraan manusia. Pengaruh hutan terhadap kehidupan kita melalui beberapa cara, termasuk diantaranya:
1)      Pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang stabil.
2)      Penyediaan batubara dan deposit minyak dewasa ini yang berasal dari pertumbuhan hutan yang terjadi dalam proses geologis.
3)      Pengembanagan dan proteksi lapisan tanah yang sekarang digunakan untuk menyokong produksi hutan dan pertanian.
4)      Produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi.
5)      Penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, patogen, ikan, dan burung.
6)      Penyediaan material bangunan, bahan bakar, dan hasil hutan yang banyak sekali.
7)      Pemberian manfaat penting yang tidak ternilai dengan uang melalui nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman.
Semua manfaat ini kecuali bahan bakar fossil, berhubungan dengan pengelolaan hutan. Kepentingan relatifnya bergantung pada ukuran dan sifat hutan, dan besar ukuran jenis kebutuhan masyarakat.
Di Amerika Serikat, hutan dan lahan liar dikelola oleh badsan federal seperti Dinas Kehutanan, Dinas Taman Nasional, Biro Pengelolaan Bahan, dan Biro Urusan Indian; oleh perusahaan dan industri besar; dan oleh pemilik swasta kecil. Di Amerika Serikat juga telah terbentuk Undang-Undang Pengelolaan Lahan Hutan Nasional pada tahun 1976 yang menuntut penghutanan kembali semua lahan kosong sebelum tahun 1985. Praktek-praktek lahan sebaik mungkin sebelum 1985 dan tidak ada sedimen masuk sungai yang berasal dari praktek silvikultur.  Perhatian para silvikulturis secara tradisional ditujukan kepada para pemilik lahan yang luas karena mereka adalah sumber utama produk sumber daya alam dan majikan semua silvikulturis. Walaupun demikian, di kemudian hari, kontribusi hasil yang berasal dari kumpulan areal luas yang dipunyai oleh banyak pemilik kecil menjadi bertambah penting. Karena itu, informasi dan keahlian silvikultur harus makin tersedia bagi pemilik-pemilik ini untuk menjamin pengelolaan sumber daya pokok bangsa itu secara sempurna.
Tujuan pengelolaan telah berubah sejalan irama waktu dengan meluasnya kepentingan dari hutan ke lahan liar. Dahulu, para silvikulturis hanya berkepentingan dengan produksi kayu, karena hal ini umumnya merupakan tujuan tunggal pengelolaan. Walaupun demikian, dewasa ini tujuan tradisional dan penting ini harus diletakkan dalam hubungannya dengan bentuk manfaat hutan yang lain. Hutan dan lahan liar mengahsilkan kayu, air, ikan, binatang buruan, ternak, dan rekreasi. Berbagai penggunaani ini mengahruskan penentuan sampai sejauh mana penggunaan tunggal atau ganda, dan apakah kombinasi tertentu selaras satu sama lain atau tidak. Tujuan pengelolaan lahan dengan cepat telah menjadi lebih kompleks dan intensif. Dengan demikian terdapat persyaratan bahwa bentuk manfaat harus dinyatakan dengan lebih tepat jumlahnya dan dapat diramalkan secara tegas.
Urgensi Ekologis Penerapan Multisistem Silvikultur pada Unit Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

Menurut Departemen Kehutanan (2005), kawasan hutan Indonesia saat ini seluas 120,35 juta ha dimana telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan seluas 109,9 juta ha.  Kawasan hutan tersebut terdiri atas hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta ha.  Selanjutnya dilaporkan bahwa sampai dengan tahun 2002 luas kawasan hutan yang terdegradasi tercatat seluas 59,7 juta ha, dengan laju deforestasi berkisar antara 1,6 juta hinga 2,5 juta ha per tahun (Baplan, 2002 dalam Nawir et al., 2008).
Kartodihardjo dan Supriono (2000) melaporkan bahwa pada tahun 2001 terdapat 361 perusahaan HPH yang masih aktif dengan luas areal operasi sekitar 36,42 juta ha.  Jumlah perusahaan HPH tersebut hanya sekitar 55% dari jumlah perusahaan HPH (sebanyak 652) pada tahun 1998.  Pengelolaan hutan oleh para pengusaha HPH tersebut telah menciptakan areal hutan bekas tebangan dengan kualitas tegakan yang sangat beragam.  Pada beberapa lokasi areal hutan bekas tebangan ini menjadi sangat terdegradasi sehingga menjadi lahan kritis karena areal-areal tersebut telah mengalami intensitas penebangan yang tinggi yang diperparah oleh adanya praktek penebangan liar oleh pihak lain dan/atau kebakaran hutan atau diakibatkan oleh faktor alamiah seperti longsor dan banjir bandang.  Kondisi semacam ini telah menciptakan suatu situasi dimana areal-areal hutan bekas tebangan HPH berupa kawasan hutan yang secara lanskap tersusun oleh mosaik-mosaik dengan kualitas lahan dan tegakan yang beragam, yang umumnya secara keseluruhan berubah menjadi lahan yang rendah produktivitasnya.

Mosaik-mosaik yang terbentuk pada kawasan hutan tersebut secara alamiah ada yang bisa pulih seperti semula, baik dalam waktu yang relatif cepat maupun dalam waktu yang relatif lambat, ada yang mengalami suksesi menjadi masyarakat tumbuhan yang secara fisiognomi berbeda dengan masyarakat tumbuhan seperti semula, ada yang bersifat disklimaks, bahkan mungkin ada mosaik yang berupa tanah kosong yang tandus.  Oleh karena itu, pengelolaan kawasan hutan produksi yang sudah berupa mosaik tersebut sangat rasional kalau menggunakan lebih dari satu sistem silvikultur atau menggunakan multisistem silvikultur sesuai dengan heterogenitas kualitas lahan/tegakan dari mosaik tersebut.

Evaluasi Pengelolaan Hutan

Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara-negara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika.

Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO belum memiliki konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan pengelolaan hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, aturan-aturan itu hanya cenderung memberi tekanan kepada negara-negara pemilik hutan tropika agar yang bersangkutan mencari sendiri jalan pemecahan untuk memperbaiki system pengelolaan hutan yang harus dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena elemen ilmu yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan tropika yang sebagian besar telah rusak karena penebangan untuk memenuhi permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi kebutuhan Negara maju itu sebenarnya belum tersedia.
Agar supaya di kemudian hari dilaksanakan penilaian yang obyektif tentang rencana dan pelaksanaan suatu pengelolaan hutan, maka dipikirkan adanya landasan teori objektif pula. Pada dasarnya tujuan pengelolaan hutan harus mengacu pada bagaimana perumusannya untuk memaksimumkan manfaat yang disediakan oleh hutan. Begitu pula aplikasinya harus tidak menyimpang dari rencana yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip agro-ekosistem tentang produktivitas, stabilitas, kelestarian dan keadilan.
Kehutanan Masyarakat (Community Forestry): Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir

Konsep pemikiran kehutanan masyarakat berkembang setelah kebijakan industrialisasi kehutanan yang bersifat ekonomi-sentrik gagal. Hal ini ditandai dengan tingginya laju degradasi hutan dan kemiskinan masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Kegagalan kebijakan industrialisasi kehutanan mendorong terjadinya pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, yaitu: dari state based forest management ke community based forest management, dari timber oriented ke forest ecosystem management, dari big scale business ke small owner scale business, dari eksploitasi ke rehabilitasi dan konservasi, dari pendekatan sektoral ke pendekatan regional (sistem), dan dari sistem pengelolaan yang seragam ke sistem pengelolaan spesifik berdasarkan potensi lokal (Alam, 2003).

Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki. Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995).
Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian, kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat (community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digalakkan pemerintah Indonesia.

Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya.

Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian, pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan pengelolaan hutan. Program Social Forestry mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan.

Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata social mempunyai dimensi yang bermacam-macam.

PRESKRIPSI PENGELOLAAN HUTAN

Pengembangan preskripsi telah dilakukan dalam perencanaan pengelolaan hutan saat ini. Preksripsi tertentu yang diterapkan pada suatu tipe lahan bersama-sama dengan prediksi hasil secara kuantitatif dan perkiraan hasil yang lain apabila preskripsi tersebut diimplementasikan merupakan building block dari model perencanaan dan skedul pembangunan hutan moderen yang sebenarnya. Perumusan preskripsi perlu mengintegrasikan strategi klassifikasi lahan, pengetahuan dasar dan aplikasi silvikultur, teknik-teknik prediksi pertumbuhan, nilai-nilai ekonomi, dan terknik analisis pengambilan keputusan dari ahli ekonomi manajemen.
Preskripsi pengelolaan hutan yang baik harus berpedoman pada empat hal yaitu:
1. Keutuhan dan kelanjutan ekologi.
Preskripsi pengelolaan hutan harus mepertimbagkan berbagai fungsi lingkungan maupun jasa-jasa yang diberikan oleh hutan antara lain, pemeliharaan keanekaragaman hayati hutan, perlindungan daerah aliran sungai, pemeliharaan fungsi daur ulang zat hara yang penting, perlindungan iklim mikro dan iklim setempat, dan lain-lain.
2. Penggunaan produk dan jasa hutan oleh manusia secara berkelanjutan dan adil.

Preskripsi pengelolaan hutan mempertimbangkan ciri-ciri ekologi, faktor-faktor sosial dan demografi, serta potensi ekonomi pada setiap unit manajemen. Biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi baik perlindungan maupun produksi hutan sama-sama dipikul masyarakat setempat, sektor swasta, dan pemerintah.
3. Pengelolaan terpadu pada skala yang tepat.
Hutan dikelola dalam suatu kerangka perencanaan wilayah, pengambilan keputusan dan pengelolaan yang memperhitungkan permukiman manusia di sekitarnya, tanah-tanah pertanian, dan berbagai macam kegiatan ekonomi. Pertimbangan-pertimbangan ekologi dan sosial menentukan ukuran wilayah pengelolaan. Pemerintah, masyarakat, swasta, dan kepentingan-kepentingan lain bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan baik pada kawasan hutan maupun pada lahan-lahan masyarakat dan mengatasi masalah-masalah penggunaan lahan. 4. Keikutsertaan yang adil dan bijaksana oleh semua pihak yang berkepentingan. Memberikan kewenangan dan hak atas informasi dan partisipasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam proses perumusan keputusan-keputusan pengelolaan dan kebijakan kehutanan.








DAFTAR PUSTAKA

Daniel, Theodore dkk. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Yogyakarta: Gadjah Mada
            University Press.
Janson, C.H. 1983. Adaptation of fruit morphology to dispersal agents in a
            neotropical forest. Science, 219: 187-189.
http://blog.umy.ac.id/directions/?p=24 . diunduh pada tanggal 20 Desember 2012
            pukul 21.56 WIB.
            multisistem-silvikultur-pada-unit-pengelolaan-hutan-produksi/. Diunduh
            pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 22.28 WIB.










III. PENUTUP

Setelah membuat makalah ini, maka didapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemilihan perlakuan silvikultur selalu dikendala oleh pertimbangan-pertimbangan ekologis, pengelolaan, dan sosial. Semuanya ini membentuk lingkungan dunia nyata harus menjadi tempat kerja silvikulturis.
2. Dorongan yang berasal dari pimpinan dan masyarakat umum untuk menaikkan produktivitas semua lahan liar, sementara pada saat yang sama memelihara kualitas lingkungan, akan menjamin bahwa silvikulturis menjadi lebih terampil dalam mengontrol pembentukkan, pertumbuhan dan hasil, struktur tegakan, dan kualitas menyeluruh lahan-lahan liar dunia.

3. Peranan silvikultur berkaitan dengan tujuan silvikultur, yaitu berkenaan dengan kontrol pembentukkan, pertumbuhan, komposisi, dan kualitas vegetasi hutan.