Kontrol silvikultur terhadap struktur tegakan menghendaki kaidah-kaidah
yang memadukan pengetahuan biologi, pengelolaan dan ekonomi. Kaidah-kaidah ini
harus sesuai dengan kerangka yang dapat diterima masyarakat.
Pengembangan kaidah-kaidah silvikultur menyangkut pengertian yang baik
dan lengkap tentang prinsip-prinsip dasar dan penjabarannya ke dalam
praktek-praktek yang direkomendasikan. Kedua komponen ini berbeda namun saling
tergantung. Prinsip-prinsip dasar bersifat universal dan memberikan pondasi
untuk praktek-praktek yang cenderung bersifat regional dan bervariasi sesuai
dengan tipe penutup hutan. Prinsip-prinsip silvikultur menyebar di sekitar
pengertian yang sempurna tentang interaksi tumbuhan dan lingkungannya.
Manipulasi pembentukkan, pertumbuhan, komposisi, dan kualitas hutan untuk
memenuhi tujuan tertentu untuk menghendaki silvikulturis menghargai saling
hubungan antara pertumbuhan vegetasi hutan dan komponen fisik dan biologi
lingkungan kerjanya. Karena itu, pengetahuan potensi pertumbuhan individu
pohon, belukar, dan jenis rumput menjadi dasar untuk mengontrol pertumbuhan
tegakan.
Kontrol struktur tegakan berarti kontrol pertumbuhan tumbuhan yang
diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Karena pertumbuhan setiap tumbuhan
dikendalikan oleh setiap tumbuhan dikendalikan oleh interaksi genotip
lingkungan, silvikulturis harus menyadari semua perlakuan, termasuk pemungutan
hasil, penjarangan, persiapan lokasi, dan pemupukan, berpengaruh langsung
terhadap interaksi ini. Karena itu keberhasilan untuk memenuhi tujuan
pengelolaan, tergantung pada kemampuan silvikulturis meramalkan pengaruh
berbagai alternatif perlakuan dalam membentuk lingkungan yang cocok bagi
tanaman yang dikehendaki tumbuh dengan sendirinya.
Kontrol struktur tegakan diperoleh dengan pengontrolan perbedaan
pertumbuhan jenis dan individu tanaman melalui manipulasi silvikultur lungkang
gen dan lingkungan dimana individu tanaman itu tumbuh dan berkembang.
Peran Atau Tugas Silvikultur
Peran atau tugas silvikultur pada intinya yaitu:
1.
Seorang
silvikulturis mampu mengetahui hutan sepenuhnya.
2.
Mampu
memberi perlakuan terhadap suatu hutan.
3.
Mampu
merinci biaya perlakuan.
4.
Merekomendasikan
hutan yang telah diberi perlakuan.
Hal Yang Harus Diketahui
Oleh Seorang Silvikulturis
Seorang silvikulturis harus mengetahui hal-hal seperti berikut:
1.
Ekologi
Seperti kualitas tempat tumbuh (potensi produktivitas
dan faktor tanah), vegetasi yang ada (sifat genotif dan ciri fisiologis),
lingkungan mikro (cahaya, suhu, evaporasi, kelembaban), mikroflora (bakteri,
jamr, alga/penyakit), dan mikrofauna (nematoda, gastropoda, serangga/hama).
2.
Manajemen
Seperti
masalah teknis (persyaratan operasional, pembatasan peralatan, persyaratan
rencana pengelolaan, pertimbangan ekonomi), dan masalah kebijakan
(kebijaksanaan dinas kehutanan terhadap pengelolaan tegakan).
3.
Sosial
Seperti
perundangan (peratutan pengelolaan lahan negara, praktek kehutanan di daerah),
tekanan sosial (aktivitas kelompok konservasi, masyarakat sekitar hutan), dan
tenaga kerja.
Praktek Silvikultur
Praktek dari seorang silvikulturis yaitu:
1)
Penyediaan
benih.
2)
Praktek
kebun bibit, yang harus dilakukannya yaitu
a. pemilihan
lahan kebun bibit
b. layout
kebun bibit
c.
penyiapan lahan
d.
penggunaan kontiner
e. seleksi
kualitas bibit
3)
Pertanaman
benih
a. evaluasi
tempat tumbuh
b. iklim
c. kualitas
tempat tumbuh
d. desain
penanaman
e.
penyiapan lahan
f. sumber
air
g. energi
4)
Pemeliharaan
a.
pengairan atau penyiraman
b.
pemupukan
c.
pengendalian gulma
d.
penjarangan
e.
pemangkasan
5)
Pemanenan
Hutan
Dan Lahan Liar (Wildlands)
Macam lahan yang termasuk dalam pengelolaan dan tanggung jawab para
silvikulturis sangat luas. Lahan tersebut termasuk aneka tipe hutan, belukar,
lahan pengembalaan, arel perairan darat, dan daerah hutan belantara.dengan
demikian hasil pengelolaan juga beraneka ragam. Karena keanekaragaman ini,
istilah tunggal lahan liar (wildlands)
seiring digunakan untuk melukiskan berbagai tipe vegetasi yang termasuk dalam
praktek kehutanan. Istilah ini telah diterima secara luas meskipun ada
kesulitan karena dalam istilah ini termasuk areal seperti hutan yang dikelola,
hutan tanaman, dan hutan kota.
Hutan dan lahan liar merupakan sumberdaya yang besar, secara umum hutan
saja menutup sepertiga permukaan Amerika Serikat dan dunia. Kepentingan
pengelolaan sumberdaya secara bijaksana terbukti, bila diakui bahwa bahakan
dalam masyarakat industri sekarang ini hutan masih tetap diperlukan untuk
eksistensi dan kesejahteraan manusia. Pengaruh hutan terhadap kehidupan kita
melalui beberapa cara, termasuk diantaranya:
1)
Pengembangan
dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang stabil.
2)
Penyediaan
batubara dan deposit minyak dewasa ini yang berasal dari pertumbuhan hutan yang
terjadi dalam proses geologis.
3)
Pengembanagan
dan proteksi lapisan tanah yang sekarang digunakan untuk menyokong produksi
hutan dan pertanian.
4)
Produksi
air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi.
5)
Penyediaan
habitat dan makanan untuk binatang, serangga, patogen, ikan, dan burung.
6)
Penyediaan
material bangunan, bahan bakar, dan hasil hutan yang banyak sekali.
7)
Pemberian
manfaat penting yang tidak ternilai dengan uang melalui nilai estetis,
rekreasi, kondisi alam asli, dan taman.
Semua manfaat ini kecuali bahan bakar fossil, berhubungan dengan
pengelolaan hutan. Kepentingan relatifnya bergantung pada ukuran dan sifat
hutan, dan besar ukuran jenis kebutuhan masyarakat.
Di Amerika Serikat, hutan dan lahan liar dikelola oleh badsan federal
seperti Dinas Kehutanan, Dinas Taman Nasional, Biro Pengelolaan Bahan, dan Biro
Urusan Indian; oleh perusahaan dan industri besar; dan oleh pemilik swasta
kecil. Di Amerika Serikat juga telah terbentuk Undang-Undang Pengelolaan Lahan
Hutan Nasional pada tahun 1976 yang menuntut penghutanan kembali semua lahan
kosong sebelum tahun 1985. Praktek-praktek lahan sebaik mungkin sebelum 1985
dan tidak ada sedimen masuk sungai yang berasal dari praktek silvikultur. Perhatian para silvikulturis secara
tradisional ditujukan kepada para pemilik lahan yang luas karena mereka adalah
sumber utama produk sumber daya alam dan majikan semua silvikulturis. Walaupun
demikian, di kemudian hari, kontribusi hasil yang berasal dari kumpulan areal
luas yang dipunyai oleh banyak pemilik kecil menjadi bertambah penting. Karena
itu, informasi dan keahlian silvikultur harus makin tersedia bagi
pemilik-pemilik ini untuk menjamin pengelolaan sumber daya pokok bangsa itu
secara sempurna.
Tujuan pengelolaan telah berubah sejalan irama waktu dengan meluasnya
kepentingan dari hutan ke lahan liar. Dahulu, para silvikulturis hanya
berkepentingan dengan produksi kayu, karena hal ini umumnya merupakan tujuan
tunggal pengelolaan. Walaupun demikian, dewasa ini tujuan tradisional dan
penting ini harus diletakkan dalam hubungannya dengan bentuk manfaat hutan yang
lain. Hutan dan lahan liar mengahsilkan kayu, air, ikan, binatang buruan,
ternak, dan rekreasi. Berbagai penggunaani ini mengahruskan penentuan sampai
sejauh mana penggunaan tunggal atau ganda, dan apakah kombinasi tertentu
selaras satu sama lain atau tidak. Tujuan pengelolaan lahan dengan cepat telah
menjadi lebih kompleks dan intensif. Dengan demikian terdapat persyaratan bahwa
bentuk manfaat harus dinyatakan dengan lebih tepat jumlahnya dan dapat
diramalkan secara tegas.
Urgensi Ekologis Penerapan
Multisistem Silvikultur pada Unit Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia
Menurut Departemen Kehutanan (2005), kawasan
hutan Indonesia saat ini seluas 120,35 juta ha dimana telah ditunjuk oleh
Menteri Kehutanan seluas 109,9 juta ha. Kawasan hutan tersebut terdiri
atas hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha,
hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta
ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta ha.
Selanjutnya dilaporkan bahwa sampai dengan tahun 2002 luas kawasan hutan yang
terdegradasi tercatat seluas 59,7 juta ha, dengan laju deforestasi berkisar
antara 1,6 juta hinga 2,5 juta ha per tahun (Baplan, 2002 dalam Nawir et al., 2008).
Kartodihardjo dan Supriono (2000) melaporkan
bahwa pada tahun 2001 terdapat 361 perusahaan HPH yang masih aktif dengan luas
areal operasi sekitar 36,42 juta ha. Jumlah perusahaan HPH tersebut hanya
sekitar 55% dari jumlah perusahaan HPH (sebanyak 652) pada tahun 1998.
Pengelolaan hutan oleh para pengusaha HPH tersebut telah menciptakan areal
hutan bekas tebangan dengan kualitas tegakan yang sangat beragam. Pada
beberapa lokasi areal hutan bekas tebangan ini menjadi sangat terdegradasi
sehingga menjadi lahan kritis karena areal-areal tersebut telah mengalami
intensitas penebangan yang tinggi yang diperparah oleh adanya praktek
penebangan liar oleh pihak lain dan/atau kebakaran hutan atau diakibatkan oleh
faktor alamiah seperti longsor dan banjir bandang. Kondisi semacam ini
telah menciptakan suatu situasi dimana areal-areal hutan bekas tebangan HPH
berupa kawasan hutan yang secara lanskap tersusun oleh mosaik-mosaik dengan
kualitas lahan dan tegakan yang beragam, yang umumnya secara keseluruhan
berubah menjadi lahan yang rendah produktivitasnya.
Mosaik-mosaik yang terbentuk pada kawasan
hutan tersebut secara alamiah ada yang bisa pulih seperti semula, baik dalam
waktu yang relatif cepat maupun dalam waktu yang relatif lambat, ada yang
mengalami suksesi menjadi masyarakat tumbuhan yang secara fisiognomi berbeda
dengan masyarakat tumbuhan seperti semula, ada yang bersifat disklimaks, bahkan
mungkin ada mosaik yang berupa tanah kosong yang tandus. Oleh karena itu,
pengelolaan kawasan hutan produksi yang sudah berupa mosaik tersebut sangat
rasional kalau menggunakan lebih dari satu sistem silvikultur atau menggunakan
multisistem silvikultur sesuai dengan heterogenitas kualitas lahan/tegakan dari
mosaik tersebut.
Evaluasi Pengelolaan Hutan
Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan
tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan
ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional
seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya
aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang
ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi laju
pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan
sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara-negara sedang berkembang,
khususnya yang memiliki hutan alam tropika.
Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO
belum memiliki konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan
pengelolaan hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu,
aturan-aturan itu hanya cenderung memberi tekanan kepada negara-negara pemilik
hutan tropika agar yang bersangkutan mencari sendiri jalan pemecahan untuk
memperbaiki system pengelolaan hutan yang harus dilaksanakan. Hal ini
disebabkan karena elemen ilmu yang diperlukan untuk memperbaiki sistem
pengelolaan hutan tropika yang sebagian besar telah rusak karena penebangan untuk
memenuhi permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi kebutuhan
Negara maju itu sebenarnya belum tersedia.
Agar supaya di kemudian
hari dilaksanakan penilaian yang obyektif tentang rencana dan pelaksanaan suatu
pengelolaan hutan, maka dipikirkan adanya landasan teori objektif pula. Pada
dasarnya tujuan pengelolaan hutan harus mengacu pada bagaimana perumusannya
untuk memaksimumkan manfaat yang disediakan oleh hutan. Begitu pula aplikasinya
harus tidak menyimpang dari rencana yang selalu berpegang teguh pada
prinsip-prinsip agro-ekosistem tentang produktivitas, stabilitas, kelestarian
dan keadilan.
Kehutanan Masyarakat (Community Forestry):
Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir
Konsep pemikiran kehutanan masyarakat berkembang
setelah kebijakan industrialisasi kehutanan yang bersifat ekonomi-sentrik
gagal. Hal ini ditandai dengan tingginya laju degradasi hutan dan kemiskinan
masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Kegagalan kebijakan industrialisasi
kehutanan mendorong terjadinya pergeseran paradigma pembangunan kehutanan,
yaitu: dari state based forest management ke community based forest
management, dari timber oriented ke forest ecosystem management,
dari big scale business ke small owner scale business, dari
eksploitasi ke rehabilitasi dan konservasi, dari pendekatan sektoral ke
pendekatan regional (sistem), dan dari sistem pengelolaan yang seragam ke
sistem pengelolaan spesifik berdasarkan potensi lokal (Alam, 2003).
Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah
sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat
diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki.
Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit,
menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat
memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara
berkelanjutan (FAO, 1995).
Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan
masyarakat adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat
lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system
pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan
definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain
memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian,
kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status
lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada siapa
pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat (community
forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digalakkan
pemerintah Indonesia.
Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan
oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi
terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari
konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah
membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya.
Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan
konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No:
PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada
kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat
setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian,
pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa
di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang
menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai
pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan
pengelolaan hutan. Program Social
Forestry mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama
dalam pengelolaan hutan.
Social Forestry mengandung makna yaitu
rangkaian kegiatan pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang
dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua
stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry mengandung makna sebagai
suatu tatanan sistem, sedangkan kata social
mempunyai dimensi yang bermacam-macam.
PRESKRIPSI PENGELOLAAN HUTAN
Pengembangan preskripsi
telah dilakukan dalam perencanaan pengelolaan hutan saat ini. Preksripsi
tertentu yang diterapkan pada suatu tipe lahan bersama-sama dengan prediksi
hasil secara kuantitatif dan perkiraan hasil yang lain apabila preskripsi
tersebut diimplementasikan merupakan building block dari model perencanaan dan
skedul pembangunan hutan moderen yang sebenarnya. Perumusan preskripsi perlu
mengintegrasikan strategi klassifikasi lahan, pengetahuan dasar dan aplikasi
silvikultur, teknik-teknik prediksi pertumbuhan, nilai-nilai ekonomi, dan
terknik analisis pengambilan keputusan dari ahli ekonomi manajemen.
Preskripsi pengelolaan hutan yang baik harus
berpedoman pada empat hal yaitu:
1. Keutuhan dan kelanjutan ekologi.
Preskripsi pengelolaan hutan
harus mepertimbagkan berbagai fungsi lingkungan maupun jasa-jasa yang diberikan
oleh hutan antara lain, pemeliharaan keanekaragaman hayati hutan, perlindungan
daerah aliran sungai, pemeliharaan fungsi daur ulang zat hara yang penting,
perlindungan iklim mikro dan iklim setempat, dan lain-lain.
2. Penggunaan produk dan jasa hutan oleh manusia
secara berkelanjutan dan adil.
Preskripsi pengelolaan hutan
mempertimbangkan ciri-ciri ekologi, faktor-faktor sosial dan demografi, serta
potensi ekonomi pada setiap unit manajemen. Biaya-biaya dan manfaat-manfaat
ekonomi baik perlindungan maupun produksi hutan sama-sama dipikul masyarakat
setempat, sektor swasta, dan pemerintah.
3. Pengelolaan terpadu pada skala yang tepat.
Hutan
dikelola dalam suatu kerangka perencanaan wilayah, pengambilan keputusan dan
pengelolaan yang memperhitungkan permukiman manusia di sekitarnya, tanah-tanah
pertanian, dan berbagai macam kegiatan ekonomi. Pertimbangan-pertimbangan
ekologi dan sosial menentukan ukuran wilayah pengelolaan. Pemerintah,
masyarakat, swasta, dan kepentingan-kepentingan lain bersama-sama merumuskan
pilihan-pilihan pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara
berkelanjutan baik pada kawasan hutan maupun pada lahan-lahan masyarakat dan
mengatasi masalah-masalah penggunaan lahan. 4. Keikutsertaan yang adil dan
bijaksana oleh semua pihak yang berkepentingan. Memberikan kewenangan dan hak
atas informasi dan partisipasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam
proses perumusan keputusan-keputusan pengelolaan dan kebijakan kehutanan.